Mengetahui sangat pentingnya peran pendidikan, Dedi ikut
memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini dengan cara berbeda.
Biasanya di daerah lain lebih diperingati dengan cara seremonial upacara
dan acara lainnya, Kabupaten Purwakarta malah memperbaiki beberapa
rumah guru honorer yang telah mengabdi belasan sampai puluhan tahun
tanpa gaji yang mumpuni.
Persoalan
guru honorer menjadi perhatian Dedi pada Hardiknas tahun ini. Meski
ditambahi label "honorer" atau sukarelawan, jutaan guru di seluruh
Indonesia ini telah berjasa mencetak muridnya menjadi doktor, bahkan
profesor dan orang sukses.
Dedi mengatakan, para murid
di kelas pun sebetulnya tak mengetahui kalau guru honorer yang
mengajarnya hanya digaji oleh sekolahnya sebesar Rp 150.000 per bulan
dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Muridnya hanya tahu kalau
dirinya mendapatkan ilmu pendidikan dari seorang guru yang rela dan
sekuat tenaga mentransfer ilmu kepada mereka di sekolah.
"Kita,
seluruh komponen pemerintahan harus fokus untuk menyelesaikan problema
guru honorer ini. Biasanya di sekolah-sekolah guru honorer lebih rajin
daripada guru PNS. Juga, kalau guru honorer yang sudah diangkat PNS, ya
jangan jadi malas-malasan. Problema ini yang harus kita benahi," ujar
Dedi.
Adapun empat rumah tak layak huni milik para guru
honorer di wilayahnya itu mendapatkan perbaikan langsung saat Dedi
menyambanginya langsung ke lokasi. Bahkan, Dedi langsung membawa para
pegawai bangunan ke tiap lokasi untuk melakukan renovasi rumah.
"Langsung
diperbaiki. Ada empat rumah dan satu orang guru yang memiliki hutang
langsung dibayar. Anggaran ini bukan dari APBD, tapi saya mendapatkan
sumbangan dari rekan-rekan di dinas pendidikan," kata Dedi.
Titik
permasalahan guru honorer sekarang, kata Dedi, yaitu proses rekrutmen
menjadi PNS dengan pola administrasi penjaringan yang keliru. Misalnya,
guru honorer berusia tua yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah
harus bersaing dengan guru muda yang baru lulus kuliah. Tentunya, para
guru honorer senior akan kalah dalam sisi akademik oleh yang lebih muda.
"Ya,
kalau guru honorer yang tua harus bersaing untuk jadi PNS dengan yang
baru lulus kuliah, ya akan kalah. Seharusnya pengangkatan guru honorer
disesuaikan dengan masa kerjanya dan langsung diangkat menjadi PNS,"
tambahnya.
Langkah itu pun harus diimbangi dengan
menghentikan sementara penerimaan guru honorer oleh seluruh sekolah.
Seperti di Purwakarta, lanjut Dedi, tercatat ada 4.000 pegawai honorer
pada perekrutan dulu dengan rangking sesuai lamanya masa kerja. Karena
itulah, perekrutan PNS dengan jumlah guru honorer sekarang akan
disesuaikan mengikuti jumlah guru pensiun tiap tahunnya.
"Diperlukan
ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraan
guru honorer selama ini. Hentikan juga penerimaan guru honorer oleh
sekolah-sekolah. Kalau tak dihentikan, nanti masalah ini tidak akan
selesai. Uang negara semua habis untuk gaji pegawai kalau begitu,
bagaimana kita bisa membangun," kata Dedi.
Kondisi saat
ini guru honorer hampir di tiap sekolah dan selalu menjadi pengajar
paling rajin. Meski bergaji kecil, para guru honorer itu memiliki
semangat tinggi sehingga membutuhkan perhatian lebih pemerintah,
terutama soal kesejahteraannya.
"Bayangkan, gaji kecil
hanya ratusan ribu per bulan harus menghidupi istri dan anak-anaknya di
rumah. Apakah itu cukup. Ah, para guruku honorer tersayang," tambahnya.
Dedi
sendiri mengaku akan terus mengumpulkan dana dari rekan-rekannya untuk
bisa melakukan perbaikan rumah para guru honorer di daerah lainnya.
Dirinya berharap langkah ini akan sedikit membantu permasalahan
kesejahteraan guru honorer selama ini.
"Saya juga nanti
akan mencoba mengumpulkan uang untuk perbaikan rumah tak layak huni
milik guru honorer di daerah lainnya," kata Dedi.
Sumber: Kompas.com
Demikian
sepenggal kisah dari seorang Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta yang sangat
peduli terhadap pendidikan dan kepada guru terutama Guru Honorer.
Post A Comment:
0 comments: