Memang Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tapi bukan berarti
Guru harus nerima mereka dizolimi oleh pemerintah kerjanya sangat
berarti mencerdaskan kehidupan bangsa namun gajinya masih jauh rendah
dari Gaji Buruh.
Engkau
sebagai pelita dalam kegelapan, Engkau laksana embun penyejuk dalam
kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa....
Masih
hapal lirik lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di atas? Lagu untuk para
guru dan pendidik. Lirik lagu itu menunjukkan betapa mulia profesi
guru.
"Pendidik adalah teladan bagi peserta didiknya," kata CEO & Founder Elite Tutors Indonesia, Sumarsono, Kamis (16/9/2016).
Guru, lanjut Sumarsono, tidak hanya bertanggung jawab atas penyampaian materi tetapi juga berperan sebagai panutan.
Namun,
tak bisa dimungkiri guru juga manusia biasa yang memiliki banyak
kebutuhan hidup untuk dipenuhi. Sayangnya, keluhan soal kesejahteraan
para guru masih terus saja bergaung.
Seperti dilansir Kompas.com pada
Jumat (29/1/2016), misalnya, masalah ini menjadi agenda Konferensi
Kerja Nasional III Persatuan Guru Republik Indonesia pada Januari 2016.
Keluhan
yang mencuat antara lain pengucuran tunjangan belum tepat waktu.
Persyaratan penerimaan tunjangan juga dirasa terlalu banyak. Proses
kenaikan pangkat pun disebut masih rumit.
Belum lagi soal jabatan fungsional dan kecilnya pendapatan guru honorer. Juga, sejumlah tunjangan khusus disebut belum merata.
Padahal, tanggung jawab guru tidak kecil. Rasio guru dan murid juga sering tak seimbang.
Menurut
PP 74/2008 tentang Guru, idealnya satu guru maksimal mengajar 20 siswa.
Kenyataannya, satu guru kerap mendidik lebih dari 40 siswa pada satu
waktu.
Terlebih lagi, ada tuntutan moral dan etika yang erat melekat pada sosok guru, mulai dari tutur kata hingga perilaku.
Untuk itu semua, seorang guru harus terus-menerus mengasah kualitas dan membangun kepribadian.
"Jadilah guru yang kehadirannya selalu dinanti peserta didik karena metode pengajarannya menarik," ujar Sumarsono.
Agar
pengajaran efektif, lanjut Sumarsono, guru sebaiknya memastikan pula
terlebih dahulu muridnya memang sudah siap menerima materi pelajaran.
Gairah
Dalam perbincangan dengan Kompas.com, Sumarsono mengaku tidak sependapat bila guru harus menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Bukan pula berarti guru perlu medali.
Namun,
kata Sumarsono, guru harus dipastikan hidup sejahtera. Harapannya,
kesejahteraan itu akan membuat guru terus termotivasi mengembangkan
diri.
"Semakin berkembang guru, ia akan semakin maksimal mengajar, sehingga anak didik ikut berkembang," ungkap Sumarsono.
Menurut
Sumarsono, saat ini pendidikan masih terlalu terpaku pada pengabdian.
Seolah-olah, kata dia, mulianya profesi ini membuat guru tidak perlu
sejahtera.
"(Namun),
saya menekankan, pendidik jangan (lalu) menuntut dibayar mahal, tapi
(pendidik yang harus) memantaskan diri," tegas Sumarsono.
Tentu
saja, guru juga harus terus menambah kompetensi agar pantas dibayar
mahal itu. Di dalamnya termasuk mempelajari kasus-kasus yang berkembang
di dunia pendidikan dan cara menghadapi anak-anak tertentu.
"Nah,
bagaimana pendidik (sekarang) mau berkembang kalau sambil mikir besok
mau makan apa? Pendidikan macam apa yang mau dibangun oleh pendidik yang
tidak sejahtera?" tanya Sumarsono.
Berangkat
dari pemahaman tersebut, Sumarsono pun memastikan para tutor di
lembaganya mendapatkan bayaran pantas dan hidup sejahtera. Dari situ dia
juga memastikan kualitas para pengajar di lembaganya.
"Guru harus memiliki dua kualitas utama. Kualitas latar belakang akademik dan kepribadian menarik," tegas dia.
Menurut
Sumarsono, peserta didik akan sulit menerima ilmu dari guru yang tidak
konsisten dan perilaku kesehariannya bertolak belakang dengan ajarannya.
Sistem
evaluasi pun Sumarsono bangun. Hasil dari proses ini dilaporkan pula ke
orangtua murid, berbarengan dengan data perkembangan program.
"Jadinya, guru pun semangat belajar," ungkap dia.
Satu lagi, gairah atau passion adalah
kata penting dalam proses pendidikan. Guru yang punya gairah tinggi
mendidik akan otomatis punya empati kepada anak didiknya.
Dengan
sendirinya, sebut Sumarsono, guru itu berpikir kesuksesan peserta didik
adalah kesuksesannya. Sebaliknya juga buat para murid.
Lagi-lagi,
gairah ini tak bisa dipisahkan dengan kesejahteraan. Sumarsono
menganalogikan, gairah tanpa kesejahteraan ibarat mengendarai mobil
tanpa pengisian kembali bensin. "Tinggal tunggu mogok (kalau begitu),"
tegas dia.
Demikian informasi ini kami sampaikan semoga bermanfaat!!!
Post A Comment:
0 comments: